Feeds RSS
Feeds RSS

Selasa, 08 Februari 2011

Makalah Filsafat Etika Komunikasi

Nama : Nuralien Meriska
NIM : 09191030
Kelas : IK3A
Faklultas Ilmu Komunikasi
Public Relation

Semangat dalam mengkaji sebuah disiplin ilmu sudah semestinya didahului dengan pengetahuan tentang asal kemunculan ilmu tersebut atau kajian secara historis. Hal ini dilakukan dengan tujuan proses pemahaman secara sistematis. Sehingga, kerancuan pemahaman dapat dihindari.
Pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia semakin maju. Salah satu disiplin ilmu adalah di bidang filsafat. Salah satu cabang ilmu filsafat yang mempelajari problematika kesusilaan dan moralitas manusia adalah filsafat moral atau yang biasa disebut dengan Etika. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan A.C. Ewing (2003: 13), “Etika atau filsafat moral berhubungan dengan nilai-nilai dan konsep tentang ‘seharusnya’”.
Franz Magnis Suseno (1987: 14), mengatakan bahwa secara historis Etika sebagai usaha Filsafat lahir dari keambrukan tatanan moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun lalu. Karena pandangan-pandangan lama tentang baik dan buruk tidak lagi dipercaya, para filosof mempertanyakan kembali norma-norma dasar bagi kelakuan manusia.
Yunani menjadi tempat pertama kali disusunnya cara-cara hidup yang baik ke dalam suatu sistem dan dilakukan penyelidikan tentang soal tersebut sebagai bagian filsafat. Berkat pertemuannya dengan para pedagang dan kaum kolonis dari berbagai Negara, orang-orang Yunani yang sering mengadakan perjalanan ke luar negeri itu menjadi sangat tertarik akan kenyataan bahwa terdapat berbagai macam kebiasaan, hukum, tata kehidupan, dan lain-lain. Bangsa Yunani mulai bertanya: Apakah miliknya, hasil pembudayaan Negara tersebut benar-benar lebih tinggi? Karena tiada seorang pun dari Yunani yang akan mengatakan sebaliknya, maka kemudian diajukanlah pertanyaan, “Mengapa begitu?” kemudiandiselidikinya semua perbuatan manusiawi, dan lahirlah cabang baru dari filsafat, yakni filsafat moral (filsafat kesusilaan) atau etika (W. Poespoproddjo,1999: 18).
Banyak pengarang yang membuat hukum moral sama seperti kebiasaan, konvensi atau yang disebut mores. Dalam pandangan ini, segala hal akan menjadi baik atau buruk bila sesuai dengan anggapan masyarakat atau opini umum. Pandangan itu sebenarnya bukan baru. Sejak abad V sebelum Masehi, Aristipus telah berpendapat bahwa tidak ada hal yang secara intrinsic baik atau buruk, tetapi suatu hal itu baik atau buruk karena dibuat begitu oleh hukum atau kebiasaan (W. Poespoproddjo,1999: 19).
Pada tahun-tahun belakangan ini, semakin banyak filsuf menaruh minat pada etika terapan, yaitu etika yang menangani masalah-masalah moral seperti yang ada, bukannya menangani teori moral yang abstrak semata-mata (Virginia Held, 1991: 9).
Banyak pertanyaan tak terjawab memenuhi benak para pengkaji Filsafat Islam: mengapa studi etika tidak mendapatkan porsi layaknya studi-studi lain?. Bagaimana mungkin etika, yang merupakan objek kajian paling dekat dengan agama, tak mendapat cukup perhatian dari para pemikir Islam?.
Di dalam tulisan ini, saya mencoba untuk memaparkan sejarah perkembangan Etika, dari sejak periode Yunani, periode abad pertengahan, periode Bangsa Arab, dan terakhir periode abad Modern.
Saya sadar sepenuhnya, tulisan ini sangant jauh dari kesempurnan, maka dari itu, kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan untuk perbaikan di kemudian hari.









PEMBAHASAN
1. Etika periode Yunani
Penyelidikan para ahli Filsafat tidak banyak memperhatikan masalah Etika. Kebanyakan dari mereka melakukan penyelidikan mengenai alam. Misalnya; bagaimana alam ini terjadi? Apa yang menjadi unsur utama alam ini? dan lain-lain. Sampai akhirnya datang Sophisticians ialah orang yang bijaksana yang menjadi guru dan tersebar ke berbagai negeri.
Socrates dipandang sebagai perintis Ilmu Akhlak. Karena ia yang pertama berusaha dengan sungguh-sungguh membentuk perhubungan manusia dengan ilmu pengetahuan. Dia berpendapat akhlak dan bentuk perhubungan itu, tidak menjadi benar kacuali bila didasarkan ilmu pengetahuan. (Ahmadamin, 1975: 45)
Faham Antisthenes, yang hidup pada 444-370 SM. Ajarannya mengatakan ketuhanan itu bersih dari segala kebutuhan, dan sebaik-baik manusia itu yang berperangai dengan akhlak ketuhanan. Maka ia mengurangi kebutuhannya sedapat mungkin, rela dengan sedikit, suka menanggung penderitaan, dan mengabaikannya. Dia menghinakan orang kaya, menyingkiri segala kelezatan, dan tidak peduli kemiskinan dan cercaan manusia selama ia berpegangan dengan kebenaran.
Pemimpin aliran ini yang terkenal adalah Diogenes, wafat pada 323 SM. Dia memberi pelajaran kepada kawan-kawannya untuk menghilangkan beban yang dilakukan oleh ciptaan manusia dan peranannya. (H.A. Mustofa, 1999: 42).
Setelah faham Antisthenes ini, lalu datang Plato (427-347 SM). Ia seorang ahli Filsafat Athena, yang merupakan murid dari Socrates. Buah pemikirannya dalam Etika berdasarkan ‘teori contoh’. Dia berpendapat alam lain adalah alam rohani. Di dalam jiwa itu ada kekuatan bermacam-macam, dan keutamaan itu timbul dari perimbangan dan tunduknya kepada hukum. (Ahmadamin, 1975: 47).
Pokok-pokok keutamaan itu adalah Hikmat kebijaksana, keberanian, keperwiraan, dan keadilan. Hal ini merupakan tiang penegak bangsa-bangsa dan pribadi. Seperti yang kita ketahui bahwa, kebijaksanaan itu utama untuk para hakim. Keberanian itu untuk tentara, perwira itu utama untuk rakyat, dan adil itu untuk semua. Pokok-pokok keutamaan itu memberikan batasan kepada manusia dalam setiap perbuatannya, agar ia melakukan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya.
Kemudian disusul Aristoteles (394-322 SM), dia adalah muridnya plato. Pengukutnya disebutPeripatetis karena ia memberi pelajaran sambil berjalan atau di tempat berjalan yang teduh. (H.A. Mustofa, 1999: 44).
Aristoteles berpendapat bahwa tujuan akhir dari yang dikehendaki manusia mengenai segala perbuatan adalah bahagia. Namun pengertiannya tentang konsep bahagia itu lebih luas dan lebih tinggi. Menurutnya, untuk mendapatkan kebahagiaan, seseorang itu hendaklah mempergunakan kekuatan akal dengan sebaik-baiknya.
Aristoteles menciptakan teori serba tengah. Tiap-tiap keutamaan adalah tengah-tengah, di antara dua keburukan. Misalnya; dermawan adalah pertengahan antara boros dan kikir. Keberanian adalah pertengahan antara membabi-buta dan takut.
Pada akhir abad ke tiga M, tersiarlah agama Nasrani di Eropa. Agama tersebut merubah fikiran manusia dan membawa pokok-poko akhlak tersebut dalam Taurat. Memberi pelajaran kepada manusia, bahwa Tuhan adalah sumber segala akhlak. Tuhan yang membuat patok yang harus kita pelihara dalam hubungan kitaa dengan orang lain. Dan Tuhan juga yang menjelaskan tentang arti baik dan jahat. (Ahmaddamin, 1975).
Baik menurut arti yang sebenarnya adalah kerelaan Tuhan Allah, dan melaksanakan segala perintahnya. Menurut ahli Filsafat Yunani, pendorong untuk melakukan perbuatan baik ialah pengetahuan atau kebijaksanaan. Sedangkan menurut Agama Nasrani, bahwa yang mendorong perbuatan baik adalah cinta kepada Allah, dan iman kepada-Nya.

2. Etika Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan, Etika bisa dikatakan ‘dianiaya’ oleh Gereja. Pada saat itu, Gereja memerangi Filsafat Yunani dan Romawi, dan menentang penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno. (H.A.Mustofa, 1999: 45).
Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan hakikat telah diterima dari wahyu. Dan apa yang terkandung dan diajarkan oleh wahyu adalah benar. Jadi manusia tidak perlu lagi bersusah-susah menyelidiki tentang kebenaran hakikat, karena semuanya telah diatur oleh Tuhan.
Ahli-ahli Filsafat Etika yang lahir pada masa itu, adalah paduan dari ajaran Yunani dan ajaran Nasrani. Di antara mereka yang termasyur adalah Abelard (1079-1142 SM), seorang ahli Filsafat Prancis. Dan Thomas Aquinas (1226-1270 SM), seorang ahli Filsafat Agama dari Italia. (Ahmaddamin, 1975).




3. Etika Periode Bangsa Arab
Bangsa Arab pada zaman jahiliah tidak mempunyai ahli-ahli Filsafat yang mengajak kepada aliran atau faham tertentu sebagaimana Yunani, seperti Epicurus, Zeno, Plato, dan Aristoteles.
Hal itu terjadi karena penyelidikan ilmu tidak terjadi kecuali di Negara yang sudah maju. Waktu itu bangsa Arab hanya memiliki ahli-ahli hikmat dan sebagian ahli syair. Yang memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, mendorong menuju keutamaan, dan menjauhkan diri dari kerendahan yang terkenal pada zaman mereka. (H.A. Mustofa, 1999: 46).
Namun sejak kedatangan Islam, agama yang mengajak kepada orang-orang untuk percaya kepada Allah, sumber segala sesuatu di seluruh alam. Allah memberikan jalan kepada manusia jalan yang harus diseberangi. Allah juga menetapkan keutamaan seperti benar dan adil, yang harus dilaksanakannya, dan menjadikan kebahagiaan di dunia dan kenikmatan di akhirat, sebagai pahala bagi orang yang mengikutinya.
Di antara ayat Al-Quran yang berbicara mengenai Etika adalah:
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
( QS. An-Nahl: 90)
Jadi Bangsa Arab pada masa itu, telah puas mengambil etika dari agama dan tidak merasa butuh untuk menyelidiki mengenai dasar baik dan buruk. Oleh karena itu, agama banyak menjadi dasar buku-buku yang di lukiskan dalam etika. Seperti buku karya Al-Ghazali dan Al-Mawardi.
Yang termasyur melakukan penyelidikan tentang akhlak dengan berdasarkan ilmu pengetahuan adalah Abu Nasr Al-Farabi, yang meninggal pada tahun 339 H. demikian juga Ikhwanus Sofa, di dalam risalah brosurnya, dan Abu ‘Ali ibnu Sina (370-428 H). mereka telah mempelajarai Filsafat Yunani, terutama pendapat mengenai akhlak. (Ahmaddamin, 1975).
Penyelidik Bangsa Arab yang terbesar mengenai Etika adalah Ibnu Maskawayh, yang wafat pada 421 H. dia mencampurkan ajaran Plato, Aristoteles, Galinus dengan jaran Islam. Ajara Aristoteles banyak termasuk dalam kitabnya, terutama dalam penyelidikan tentang jiwa. (Ahmad Mahmud Shubhi, 1992: 17).

4. Etika Periode Abad Modern
Pada akhir abad lima belas, Eropa mulai bangkit. Ahli pengetahuan mulai menyuburkan Filsafat Yunani Kuno. Begitu juga dengan Italia, lalu berkembang ke seluruh Eropa.
Pada masa ini, segala sesuatu dikecam dan diselidiki, sehingga tegaklah kemerdekaan berfikir. Dan mulai melihat segala sesuatu dengan pandangan baru, dan mempertimbangkannya dengan ukuran yang baru.
Discartes, seorang ahli Filsafat Prancis (1596-1650), termasuk pendiri Filsafat baru. Untuk ilmu pengetahuan, ia menetapkan dasar-dasar sebagai berikut:
1. Tidak menerima sesuatu yang belum diperiksa akal dan nyata adanya. Dan apa yang tumbuhnya dari adat kabiasaan saja, wajib ditolak.
2. Di dalam penyelidikan harus kita mulai dari yang sekecil-kecilnya, lalu meningkat ke hal-hal yang lebih besar.
3. Jangan menetapkan sesuatu hukum akan kebenaran suatu hal sehingga menyatakan dengan ujian. (H.A. Mustofa, 1999: 51)..
Namun di antara ahli-ahli ilmu pengetahuan bangsa Jerman yang merupakan pengaruh besar dalam akhlak ialah Spinoza (1770-1831), Hegel (1770-1831) juga Kant (1724-1831).










DAFTAR PUSTAKA
A.C.Ewing, 2003, Persoalan-Persoalan mendasar Filsafat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ahmaddamin, 1975, Etika (Ilmu Akhlak), Jakarta: Bulan Bintang
Ahmad Mahmud Shubhi, 1992, Filsafat Etika, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
Franz Magnis Suseno, 1987, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius.
H. A. Mustofa, 1999, Akhlak Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia.
Virginia Held, 1991, Etika Moral: Pembenaran Tindakan Sosial, Jakarta: Penerbit Erlangga.
W. Poespoproddjo, 1999, Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Bandung: Pustaka Grafika


0 komentar:

Posting Komentar